Apa Itu Tone Deaf? Ini Penjelasannya

banner 468x60

HARIANGARUT.COM – Istilah tone deaf seringkali muncul di tengah pembicaraan yang menyangkut tentang strata sosial. Istilah tersebut kerap digunakan untuk merujuk orang yang tak acuh pada penderitaan orang lain.

Secara harfiah, tone deaf berarti tuli nada. Mereka kesulitan membedakan atau menyanyikan nada secara tepat. Seiring perkembangan zaman, istilah tone deaf mengalami pergeseran makna (peyorasi).
Mengutip Merriam Webster, tone deaf adalah sikap ketidakpekaan atau kurangnya persepsi dalam hal sentimen, opini, atau selera publik. Cambridge Dictionary mendefinisikan tone deaf sebagai sikap tidak mengerti apa yang dirasakan orang lain.

banner 336x280

Pada dasarnya, orang yang tone deaf cenderung menutup diri dan tidak peduli dengan apa yang ada di sekitarnya. Seseorang yang tone deaf akan bersikap cuek, tidak berempati, dan cenderung memikirkan dirinya sendiri.

Ciri-ciri tone deaf
Berikut ciri-ciri orang yang tone deaf:

  1. Menunjukkan ketidakpedulian
    Orang yang tone deaf cenderung bersikap acuh tak acuh terhadap kondisi di sekitarnya. Mereka kurang memahami norma sosial sehingga tidak memiliki sensitivitas terhadap konflik yang sedang terjadi.
    Kendati begitu, tidak selamanya orang-orang tone deaf seperti itu. Ada pula dari mereka yang sebenarnya paham akan apa yang sedang terjadi dan apa yang diharapkan masyarakat. Namun, mereka memilih untuk diam dan tidak mau ambil pusing.
  2. Bersikap tidak sopan
    Seseorang yang tone deaf menunjukkan sikap yang tidak sopan atau tidak pantas. Mereka tetap meyakini bahwa tindakannya benar tanpa mempertimbangkan konteks di sekitarnya.
  3. Mengolok-olok meski sadar akan harapan sosial
    Orang yang tone deaf juga senang mengolok-olok harapan sosial dengan sarkas atau secara langsung. Mereka senang menertawakan hal yang sebenarnya bukan menjadi masalah.

Penggunaan “tone deaf” dalam konteks politik
Dalam konteks baru-baru ini, istilah tone deaf disematkan pada orang-orang yang tidak peduli akan kondisi politik yang tengah terjadi.

Istilah tone deaf digunakan, misalnya, dalam lanskap situasi politik jelang Pilkada serentak 2024.

Di tengah persiapan menuju Pilkada, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI melakukan langkah inkonstitusional karena mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memicu kemarahan publik.

Pasca putusan MK terkait batas usia calon gubernur dan wakil gubernur, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menggelar rapat dadakan. Rapat ini berusaha menganulir keputusan MK yang sifatnya final dan mengikat. Caranya adalah dengan menyusun dan akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada).

Sontak hal ini memicu kemarahan publik. Sebab, publik masih geram akan politik dinasti yang tengah dibangun oleh Presiden Joko Widodo. Pasca putra pertamanya, Gibran Rakabuming Raka terpilih menjadi wakil presiden, kini giliran putra ketiganya, Kaesang Pangarep yang akan dicalonkan menjadi wakil gubernur (cawagub). Publik pun ramai-ramai mengunggah gambar Garuda Indonesia berlatar biru bertuliskan “Peringatan Darurat”. Ini adalah seruan bergerak untuk melawan tindakan elite politik yang sewenang-wenang dan mencederai demokrasi.

Namun, di tengah seruan tersebut, ada sekelompok orang yang mengatakan: “aku nggak tahu apa-apa, aku harus ngapain?”, “capek banget lihat timeline isinya politik semua”, dan sejenisnya. Kalimat-kalimat tersebut adalah bentuk tone deaf menanggapi masalah perpolitikan yang sedang terjadi.

Alih-alih mencari tahu informasinya, orang-orang yang tone deaf justru akan merendahkan orang lain yang sedang menyuarakan aspirasinya. Tak jarang mereka sibuk dengan kepentingannya sendiri tanpa memerdulikan orang lain. Dengan kata lain, ia bertindak sebagai seorang yang egois dan nirempati.

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *